Sesaat,untuk menepi.
Sementara, rasakan sedikit luka
Angin timur, bawakan derita
Sampaikanlah, pada senyuman
Mengerti
Kehidupan
Sore itu adalah sore yang sama seperti sore-sore pada musim penghujan. Awan gelap memenuhi langit. Tak ada yang berkesan bagiku. Rasanya aku ingin pergi dari tempat ini. Tapi ke mana? Hh..sial, untuk apa aku bermimpi pergi dari sini. Aku sudah merasa cukup. Aku sudah puas. Tempat ini telah memberiku kehidupan dan seharusnya aku bersyukur. Tapi inilah aku, manusia biasa yang senang bermimpi. Walaupun banyak orang yang mencibirku. Lupa bahwa merekapun senang melakukannya. Awan gelap masih memenuhi langit, enggan membuka jalan untuk surya. Mendung yang sama dengan hatiku.
Lama aku menunggu. Menunggu datangnya dia. Yang sebenarnya tak akan pernah kembali. Kadang aku berpikir, untuk apa aku menunggunya. Sudah tiga tahun, tapi bagiku dia baru pergi kemarin pagi. Sepanjang perjalananku menuju kota Yogyakarta, aku melihat dirinya diantara hijaunya padi di sawah. Di antara rumah-rumah di sepanjang jalan yang aku lewati. Tapi dia tak pernah melihat ke arahku. Aku tahu dia sudah datang sejak aku memasuki wilayah Jawa bagian tengah, tapi dia tak pernah melihat ke arahku.
Saat aku tiba di penginapan, aku segera membersihkan diriku di kamar mandi kecil yang tersedia di kamar itu. Air di kamar mandi itu terasa hangat-hangat kuku saat menyentuh setiap inci kulitku yang sudah seharian tak disentuh oleh air. Penat masih melekat dan lelah yang teramat sangat memaksaku untuk beristirahat lebih cepat. Jam dua malam aku terbangun dengan sendirinya. Kalut melihat keadaanku yang tak karuan. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Ku coba memejamkan mata. Tapi seperti ada yang menahanku untuk terlelap. Akhirnya aku memaksakan diri bangun dari tempat pembaringan. Tak ada yang terjadi. Tapi tetap saja aku tak bisa terlelap. Entah bagaimana, jam empat pagi aku terbangun dengan posisi terduduk di sebelah ranjang. Kepalaku terasa pening dan tubuhku melemas.
Kemarin sebelum rombongan pergi ke Malioboro, aku seperti melihatnya. Kali ini diantara meja-meja makan yang tersusun rapi di pinggir ruangan. Semerbak wangi tubuhnya memenuhi rongga hidungku. Betapa aku merindukannya. Pembawaanya yang dewasa. Setiap tutur katanya menjadi sangat berarti sekarang. Dia tahu apa yang aku sukai. Dia begitu memahamiku. Walaupun aku sering tak menghiraukan ucapannya. Aku sudah terlalu egois. Dia bahkan tak pernah mendapat sambutan hangat dariku. Hanya karena dia tidak sedarah denganku.
Hari perpulangan adalah hal buruk yang aku tidak sukai kehadirannya. Itu berarti aku harus pergi dari tempat ini dan kembali ke kampung halamanku. Segala hal yang berhubungan dengan kepulanganku sudah aku atur sedemikian rupa agar terkesan bahwa aku sudah siap untuk pergi. Aku sungguh penipu ulung karena aku sudah menipu diriku sendiri. Lambat laun aku akan tersadar bahwa hal itu tak berguna. Perempuan yang duduk bersebelahan denganku begitu tenang menghadapi hari perpulangan itu. Seperti tak pernah merasakan luka.
Luka dan dukaku tetap ada sampai kapan pun. Tapi aku tidak bisa terus meratap, menangisi nasib. Roda kendaraan yang aku tumpangi mulai berputar. Berjalan perlahan menuju kemegahan bangunan kraton Yogya. Hatiku rasanya masih tertinggal di penginapan itu walau ragaku berada di jalan menuju kraton. Pulih itu ternyata lebih sulit.
Kraton Yogya tak membuatku membaik. Suasana kraton yang kental akan tradisi membuatku semakin teringat akan dirinya. Kapan aku bisa melihat senyumnya yang tak pernah aku temukan selama dia ada. Matahari semakin naik, pertanda hari sudah beranjak siang. Waktunya untuk kembali ke kendaraan karena masih jauh perjalanan yang harus aku lewati jika ingin sampai tepat waktu. Aku terdiam sejenak, duduk di tangga kraton yang berwarna kuning kusam bersama teman seperjalananku. Kami tidak berbicara banyak. Diam sudah memberi jawaban bagi kami. Lama akhirnya aku sadar bahwa pembimbingku menunggu di tangga paling bawah. Terpaksa aku turun dari tangga paling atas tempat aku duduk menuju tepat parkir di depan gedung berwarna putih bertuliskan BI dengan huruf B dan I yang saling bertumpukan. Selamat tinggal kraton. Aku tak yakin akan merasakan sensasi ini lagi. Jadi aku biarkan diriku berjalan perlahan, merasakan suasana kraton yang semakin memudar.
Mungkin kalian kesal membaca tulisan tak berarti ini. Tapi cobalah untuk menghargaiku. Karena dia pun selalu menghargai dengan cara unik yang tak satu pun orang dapat menyamainya. Dia memang telah pergi dari dunia ini, tapi dia selalu ada dan mengisi ruang-ruang di dalam hatiku. Dia adalah orang yang sangat berarti bagi ibuku. Dia telah menolong kakekku dari rasa kesepian. Dia adalah nenekku, nenek tiriku.
warna mentari
cahaya membantu kita untuk mengenali dunia. melihat membuat kita tahu dunia. pintu-pintu sudah terbuka. buka mata dan cermati. ada mutiara di balik pintu-pintu itu.
Minggu, 24 Juli 2011
Jumat, 29 April 2011
Semua Berawal dari Diriku
Setiap hari, aku berjalan di atas jembatan yang goyah. Sesekali angin datang bertiup, meremukkan sendi-sendi ditubuhku. Bulu kudukku meremang setiap kali memasuki hutan diseberang jembatan itu. Aku tahu akan selalu bertemu dengan hutan itu. Setiap hari. Namun, tak ada jalan lain untuk sampai ke kota seberang selain melewati jalan ini. Ada daya, penguasa di negeriku sudah ‘mati’ sejak lama. Aku kira negeriku merdeka seperti yang diberitakan tv-tv, radio, dan koran itu. Mungkin, terlalu banyak ‘tikus’ di kediamana raja.
Perjalanan ini terasa melelahkan, tidak biasanya aku merasa sangat lelah seperti ini. Di depanku hanya ada kegelapan hutan yang siap melahapku, bulat-bulat. Peluh membassahi keningku. Rasanya bumi berputar terlalu cepat, membentuk lingkaran-lingkaran hitam dalam benakku. Hingga aku tak dapat merasakan lagi keberadaan tubuhku.
“Anda sudah sadar rupanya?” suaranya terdengar lembut seperti melayang-layang. Wajahnya sungguh menawan. Kulitnya sewarna dengan gading yang baru dipoles, matanya teduh dengan irisnya yang berwarna hijau zamrud, hidungnya tipis dengan bentuk yang takkalah indah, dan bibirnya semerah ceri. Dia bagaikan lukisan yang hidup, fisiknya benar-benar sempurna. Aku alihkan pandanganku ke sekeliling tempat aku terbaring. Tempat ini…putih. Dindingnya, pintunya, jendelanya, bahkan sampai bunga bakung yang ada disamping bantalku juga berwarna putih. Aku tak tahu ada tempat seperti ini. Bersih tak bernoda, seakan tempat ini sudah disucikan. Belum habis aku terkagum-kagum, sengkoyong-koyong datang gerombolan anak kecil dari pintu yang berjarak dua meter dari ranjang yang akau tempati. Wajah mereka berseri-seri. Mereka semua mengerumuninya. Sebenarnya hingga saat ini aku tidak tahu aku berada dimana dan siapa mereka semua ini, khususnya dia yang pertama kali aku lihat. Aku tidak tahu dia perempuan atau laki-laki, terlalu cantik sekaligus tampan.
“Sebenarnya aku berada dimana? Siapa kamu dan anak-anak kecil tadi?” Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku. Rasa kagumku telah menahan kata-kata tadi keluar, seakan-akan aku tidak mau tertinggal melihat setiap inci ruangan yang baru aku tempati ini. Dia tersenyum sesaat sebelum mengatakan kata-kata itu. “Sekarang Anda berada di surga dan saya beserta anak-anak tadi tidak lain adalah malaikat yang tinggal di surga,” ucapnya dengan tenang.
“ Lalu bagaimana aku bisa sampai di sini?”
“Saya selaku malaikat pendamping Anda, bertugas menjemput Anda kemari atas perintah Tuhan anda.”
“Tuhan? Siapa?”
“Nanti Anda akan tahu dengan sendirinya.”
Pembicaraan itu berakhir dan dia tidak pernah datang lagi sejak saat itu. Aku ditinggalkan sendiri dalam ruangan yang serba putih itu. Hingga ada seseorang yang mengetuk pintu putih di depan ranjang. Jujur saja, aku takut untuk membuka pintu itu. Menyentuhnyapun belum pernah. Tetapi suara ketukan itu seakan memaksaku untuk segera menbuka pintu tersebut. Ini pertama kalinya aku beranjak dari ranjang sejak yang mengaku sebagai malaikat pendampingku itu pergi. Bukan main kagetnya aku, yang berada dihadapanku adalah makhluk bertubuh tinggi besar dengan rantai yang mengalungi lehernya yang tebal.
“Tuhanmu memintaku menjemputmu.”
“Tuhanku?”
“Tidak usah banyak tanya, Dia tidak suka manusia yang lambat.”
“Siapa?”
“Nanti kamu akan tahu.”
Kenapa mereka semua mengatakan hal yang sama?! Aku pun tidak tahu akan dibawa ke mana. Terlalu banyak lorong, tangga, dan persimpangan yang aku lewati. Setelah perjalanan yang panjang dan entah berapa lama, aku sampai di tempat tujuan. Makhluk itu menyuruhku masuk ke dalam ruangan yang sangat gelap. Aku tidak tahu seberapa luas rungan ini, yang ku tahu hanya satu, tempat ini kotor dan berbau busuk. Ada banyak hewan-hewan aneh yang menjijikkan. Suara mereka seperti jeritan perempuan yang memekakkan telinga dan mereka memiliki bulu-bulu kasar yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Argh.., AKU BENCI TEMPAT INI!! Aku tidak tahu siang dan malam, tidak tahu berapa lama aku berada di sini. Aku tidak pernah diberi makan ataupun minum. Di sini sulit bernafas, bau, pengap. Ini seperti NERAKA! Aku hanya ingin KELUAR DARI SINI!!
Saat tiba waktunya, aku dikagetkan oleh kemunculan malaikat pendampingku. “Tuhan telah mensucikan Anda, sekarang Anda dapat bertemu dengan Tuhan Anda,” ucapnya dengan senyum manisnya. Aku merasa benar-benar tertolong olehnya. Segera saja aku mengikutinya menuju tempat yang sama sekali tidak aku tahu. Lagi-lagi ruangan yang aku datangi berwarna putih. Lalu aku bertemu dengan Tuhanku itu. Betapa kagetnya aku saat menyadari bahwa Tuhanku adalah orang yang sangat aku kenal. Orang yang tak mungkin aku lupa padanya, walaupun orang-orang sudah mengatakan aku gila. Orang itu adalah orang yang memenggal kepalaku sesaat sebelum aku sempat bernafas saat pertama kali melihatnya. Aku hanya sempat melihat senyumnya sinisnya dan matanya yang miring. Dia adalah aku.
Perjalanan ini terasa melelahkan, tidak biasanya aku merasa sangat lelah seperti ini. Di depanku hanya ada kegelapan hutan yang siap melahapku, bulat-bulat. Peluh membassahi keningku. Rasanya bumi berputar terlalu cepat, membentuk lingkaran-lingkaran hitam dalam benakku. Hingga aku tak dapat merasakan lagi keberadaan tubuhku.
“Anda sudah sadar rupanya?” suaranya terdengar lembut seperti melayang-layang. Wajahnya sungguh menawan. Kulitnya sewarna dengan gading yang baru dipoles, matanya teduh dengan irisnya yang berwarna hijau zamrud, hidungnya tipis dengan bentuk yang takkalah indah, dan bibirnya semerah ceri. Dia bagaikan lukisan yang hidup, fisiknya benar-benar sempurna. Aku alihkan pandanganku ke sekeliling tempat aku terbaring. Tempat ini…putih. Dindingnya, pintunya, jendelanya, bahkan sampai bunga bakung yang ada disamping bantalku juga berwarna putih. Aku tak tahu ada tempat seperti ini. Bersih tak bernoda, seakan tempat ini sudah disucikan. Belum habis aku terkagum-kagum, sengkoyong-koyong datang gerombolan anak kecil dari pintu yang berjarak dua meter dari ranjang yang akau tempati. Wajah mereka berseri-seri. Mereka semua mengerumuninya. Sebenarnya hingga saat ini aku tidak tahu aku berada dimana dan siapa mereka semua ini, khususnya dia yang pertama kali aku lihat. Aku tidak tahu dia perempuan atau laki-laki, terlalu cantik sekaligus tampan.
“Sebenarnya aku berada dimana? Siapa kamu dan anak-anak kecil tadi?” Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku. Rasa kagumku telah menahan kata-kata tadi keluar, seakan-akan aku tidak mau tertinggal melihat setiap inci ruangan yang baru aku tempati ini. Dia tersenyum sesaat sebelum mengatakan kata-kata itu. “Sekarang Anda berada di surga dan saya beserta anak-anak tadi tidak lain adalah malaikat yang tinggal di surga,” ucapnya dengan tenang.
“ Lalu bagaimana aku bisa sampai di sini?”
“Saya selaku malaikat pendamping Anda, bertugas menjemput Anda kemari atas perintah Tuhan anda.”
“Tuhan? Siapa?”
“Nanti Anda akan tahu dengan sendirinya.”
Pembicaraan itu berakhir dan dia tidak pernah datang lagi sejak saat itu. Aku ditinggalkan sendiri dalam ruangan yang serba putih itu. Hingga ada seseorang yang mengetuk pintu putih di depan ranjang. Jujur saja, aku takut untuk membuka pintu itu. Menyentuhnyapun belum pernah. Tetapi suara ketukan itu seakan memaksaku untuk segera menbuka pintu tersebut. Ini pertama kalinya aku beranjak dari ranjang sejak yang mengaku sebagai malaikat pendampingku itu pergi. Bukan main kagetnya aku, yang berada dihadapanku adalah makhluk bertubuh tinggi besar dengan rantai yang mengalungi lehernya yang tebal.
“Tuhanmu memintaku menjemputmu.”
“Tuhanku?”
“Tidak usah banyak tanya, Dia tidak suka manusia yang lambat.”
“Siapa?”
“Nanti kamu akan tahu.”
Kenapa mereka semua mengatakan hal yang sama?! Aku pun tidak tahu akan dibawa ke mana. Terlalu banyak lorong, tangga, dan persimpangan yang aku lewati. Setelah perjalanan yang panjang dan entah berapa lama, aku sampai di tempat tujuan. Makhluk itu menyuruhku masuk ke dalam ruangan yang sangat gelap. Aku tidak tahu seberapa luas rungan ini, yang ku tahu hanya satu, tempat ini kotor dan berbau busuk. Ada banyak hewan-hewan aneh yang menjijikkan. Suara mereka seperti jeritan perempuan yang memekakkan telinga dan mereka memiliki bulu-bulu kasar yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Argh.., AKU BENCI TEMPAT INI!! Aku tidak tahu siang dan malam, tidak tahu berapa lama aku berada di sini. Aku tidak pernah diberi makan ataupun minum. Di sini sulit bernafas, bau, pengap. Ini seperti NERAKA! Aku hanya ingin KELUAR DARI SINI!!
Saat tiba waktunya, aku dikagetkan oleh kemunculan malaikat pendampingku. “Tuhan telah mensucikan Anda, sekarang Anda dapat bertemu dengan Tuhan Anda,” ucapnya dengan senyum manisnya. Aku merasa benar-benar tertolong olehnya. Segera saja aku mengikutinya menuju tempat yang sama sekali tidak aku tahu. Lagi-lagi ruangan yang aku datangi berwarna putih. Lalu aku bertemu dengan Tuhanku itu. Betapa kagetnya aku saat menyadari bahwa Tuhanku adalah orang yang sangat aku kenal. Orang yang tak mungkin aku lupa padanya, walaupun orang-orang sudah mengatakan aku gila. Orang itu adalah orang yang memenggal kepalaku sesaat sebelum aku sempat bernafas saat pertama kali melihatnya. Aku hanya sempat melihat senyumnya sinisnya dan matanya yang miring. Dia adalah aku.
Kamis, 28 April 2011
Tempatku
Di sini
Kupotong nadiku
Ku tutup mataku
Ku bungkam mulutku
Hingga aku tak bergerak
Lagi
Di sana
Ku taruh jiwaku
Ku simpan hatiku
Agar tak satu pun orang
Dapat mengambilnya
Aku
Tersesat
Dalam rangkaian bintang gemintang
Tanpa arah
Tanpa tujuan
Hingga akhirnya
Habis waktuku
Kupotong nadiku
Ku tutup mataku
Ku bungkam mulutku
Hingga aku tak bergerak
Lagi
Di sana
Ku taruh jiwaku
Ku simpan hatiku
Agar tak satu pun orang
Dapat mengambilnya
Aku
Tersesat
Dalam rangkaian bintang gemintang
Tanpa arah
Tanpa tujuan
Hingga akhirnya
Habis waktuku
Kamis, 24 Maret 2011
Jalan buntu
Lama sudah
Menepi di tepian kanal
Tapi tak kunjung ke kota
Karena perahu-perahu
Tak kunjung menyusut
Dan kau terlambat
Maka sudahlah
Biat tetap disini
Berjalan pun tak ada gunanya
Karena perahu rapuh
Tak ada jalan lain
Menepi di tepian kanal
Tapi tak kunjung ke kota
Karena perahu-perahu
Tak kunjung menyusut
Dan kau terlambat
Maka sudahlah
Biat tetap disini
Berjalan pun tak ada gunanya
Karena perahu rapuh
Tak ada jalan lain
Jika kalian berfikir
Satu saat
Kita bertemu
Memandang satu sama lain
Kita ini sama
Hanya saja
Ku punya hati
Yang bedakanku dari kalian
Ku punya jiwa
Yang bedakanku dari kalian
Ku punya akal
Yang bedakanku dari kalian
Ku punya bakat yang bedakanku dari kalian
Lalu
Kalian punya apa?
Yang bedakan kalian dari aku
Kita bertemu
Memandang satu sama lain
Kita ini sama
Hanya saja
Ku punya hati
Yang bedakanku dari kalian
Ku punya jiwa
Yang bedakanku dari kalian
Ku punya akal
Yang bedakanku dari kalian
Ku punya bakat yang bedakanku dari kalian
Lalu
Kalian punya apa?
Yang bedakan kalian dari aku
Kamu
Apa yang bisa kamu lakukan
Dengan tangan dan kaki terikat
Apa yang bisa kamu dengar
Dengan telinga tertutup
Apa yang bisa kamu lihat
Dengan mata yang tertutup
Apa yang bisa kamu baui
Dengan hidung yang tersumbat
Apa yang bisa kamu lakukan
Jika kamu tidak melepas semua itu
Dengan tangan dan kaki terikat
Apa yang bisa kamu dengar
Dengan telinga tertutup
Apa yang bisa kamu lihat
Dengan mata yang tertutup
Apa yang bisa kamu baui
Dengan hidung yang tersumbat
Apa yang bisa kamu lakukan
Jika kamu tidak melepas semua itu
Kehidupan
Ketika tak ada yang berbisik
Dunia menjadi sepi
Dan aku sendiri
Tidak kau, tidak aku
Dunia tetap berputar
Walaupun aku meringis
Menahan sakit
Karena dunia
Rintihan
Bahkan jeritan sekalipun
Tidak akan membuat dunia terhenti
Atau sekadar berbaik hati
Kau dan aku
Terlahir untuk menelan derita
Mencicipi pahitnya kehidupan
Menginjak duri jalanan
Dunia menjadi sepi
Dan aku sendiri
Tidak kau, tidak aku
Dunia tetap berputar
Walaupun aku meringis
Menahan sakit
Karena dunia
Rintihan
Bahkan jeritan sekalipun
Tidak akan membuat dunia terhenti
Atau sekadar berbaik hati
Kau dan aku
Terlahir untuk menelan derita
Mencicipi pahitnya kehidupan
Menginjak duri jalanan
keinginan
Jika waktu memisahkan kita
Biar ku hentikan waktu
Sehingga kita bisa bertemu
Jika tempat memisahkan kita
Biar ku buat dunia menjadi satu
Sehingga kita bisa bertemu
Jika lautan memisahkan kita
Biar ku buat perahu
Untuk mengarungi lautan nan luas
Agar bisa bertemu denganmu
Biar ku hentikan waktu
Sehingga kita bisa bertemu
Jika tempat memisahkan kita
Biar ku buat dunia menjadi satu
Sehingga kita bisa bertemu
Jika lautan memisahkan kita
Biar ku buat perahu
Untuk mengarungi lautan nan luas
Agar bisa bertemu denganmu
Kita
Aku adalah aku
Dan kamu adalah kamu
Kita berbeda
Tapi kita memiliki kesamaan
Kita sama-sama manusia
Tahukah kalian?
Sudah terlalu banyak darah yang terbuang dengan percuma
Sudah terlalu banyak remah roti yang kita makan
Sudah terlalu banyak waktu yang kita buang sia-sia
Jika kita adalah manusia
Sudah sepantasnya kita berfikir
Untuk apa kita hidup
Untuk apa kita ada di dunia ini
Untuk apa!
Tetapi kenyataanya…
Kita diam
Kita hanya diam
Melihat orang lain berjaya
Melihat negara lain berjaya
Jika kita adalah manusia
Seharusnya kita sadar
Kita sudah tertinggal
Jauh…dibelakang
Itulah alasan….
Mengapa negara kita tak jadi negara maju
Pemuda-pemudi di negara kita
Hanya jadi penonton
Bukan pemain
Sadarkah kalian….
Generasi penerus bangsa!
Pewaris negara kita ini!
Negara Republik Indonesia!
Dan kamu adalah kamu
Kita berbeda
Tapi kita memiliki kesamaan
Kita sama-sama manusia
Tahukah kalian?
Sudah terlalu banyak darah yang terbuang dengan percuma
Sudah terlalu banyak remah roti yang kita makan
Sudah terlalu banyak waktu yang kita buang sia-sia
Jika kita adalah manusia
Sudah sepantasnya kita berfikir
Untuk apa kita hidup
Untuk apa kita ada di dunia ini
Untuk apa!
Tetapi kenyataanya…
Kita diam
Kita hanya diam
Melihat orang lain berjaya
Melihat negara lain berjaya
Jika kita adalah manusia
Seharusnya kita sadar
Kita sudah tertinggal
Jauh…dibelakang
Itulah alasan….
Mengapa negara kita tak jadi negara maju
Pemuda-pemudi di negara kita
Hanya jadi penonton
Bukan pemain
Sadarkah kalian….
Generasi penerus bangsa!
Pewaris negara kita ini!
Negara Republik Indonesia!
Menunggu
Lama sudah aku menanti
Tapi tak kunjung datang
Lama aku sendiri
Tanpa teman
Melolong ke arah bulan
Berharap kan ada yang datang
Walau akhirnya
Tetap sendiri
Tapi tak kunjung datang
Lama aku sendiri
Tanpa teman
Melolong ke arah bulan
Berharap kan ada yang datang
Walau akhirnya
Tetap sendiri
Perpisahan
Awal mula aku menetap
Ada rasa yang berbeda
Saat-saat yang tak dapat terlupakan
Orang-orang yang sangat berarti
Sampai tiba waktunya untuk berpisah
Dan tak ada yang tersisa
Tinggal kenangan
Tangis kita
Tawa kita
Senyum kita
Sampai tiba waktunya untuk berpisah
Ada rasa yang berbeda
Saat-saat yang tak dapat terlupakan
Orang-orang yang sangat berarti
Sampai tiba waktunya untuk berpisah
Dan tak ada yang tersisa
Tinggal kenangan
Tangis kita
Tawa kita
Senyum kita
Sampai tiba waktunya untuk berpisah
Rasa
Sesaat
Untuk menepi
Sementara
Rasakan sedikit luka
Angin timur
Bawakan derita
Sampaikanlah
Pada senyuman
Mengerti
Kehidupan
Untuk menepi
Sementara
Rasakan sedikit luka
Angin timur
Bawakan derita
Sampaikanlah
Pada senyuman
Mengerti
Kehidupan
Rindu
Tuhan, aku rindu kepadanya
Sedikit demi sedikit
Mencoba menyapa senja
Yang selalu tersenyum
Di balik bukit
Tuhan
Masihkah ada waktu
Tuk menyapanya kembali
Sebelum malam datang
Selimuti diriku dengan kegelapan
Tuhan
Aku bukanlah perempuan baik
Namun aku mau
Kau dengarkan pemorhonanku
Pertemukan aku dengan senja
Sedikit demi sedikit
Mencoba menyapa senja
Yang selalu tersenyum
Di balik bukit
Tuhan
Masihkah ada waktu
Tuk menyapanya kembali
Sebelum malam datang
Selimuti diriku dengan kegelapan
Tuhan
Aku bukanlah perempuan baik
Namun aku mau
Kau dengarkan pemorhonanku
Pertemukan aku dengan senja
Sadarkah kamu
Setiap pagi menjelang
Pancarkan kasih-Nya
Aku selalu berusaha
Menemuimu
Dalam bayang keraguan
Akulah pengerjar bayangan
Aku senang melakukannya
Aku senang melihat bayangmu
Yang terkadang kabur
Bercampur banyangan lain
Karena kau berbeda
Ciptakan ruang dalam relung hatiku
Mungkin aku bisa berdusta
Tapi tidak untuk hal ini
Mungkin aku bisa berpaling
Tapi tidak untuk hal ini
Aku bahagia
Saat kau bahagia
Aku sedih
Saat kau sedih
Inikah rasa?
Pancarkan kasih-Nya
Aku selalu berusaha
Menemuimu
Dalam bayang keraguan
Akulah pengerjar bayangan
Aku senang melakukannya
Aku senang melihat bayangmu
Yang terkadang kabur
Bercampur banyangan lain
Karena kau berbeda
Ciptakan ruang dalam relung hatiku
Mungkin aku bisa berdusta
Tapi tidak untuk hal ini
Mungkin aku bisa berpaling
Tapi tidak untuk hal ini
Aku bahagia
Saat kau bahagia
Aku sedih
Saat kau sedih
Inikah rasa?
berjalan di atas air
Kadang dunia tak selalu
Seperti yang kita inginkan
Tapi kita terlalu egois
Memaksakan kehendak
Walau sebenarnya
Itu tak ada gunanya
Seperti yang kita inginkan
Tapi kita terlalu egois
Memaksakan kehendak
Walau sebenarnya
Itu tak ada gunanya
Tulip kecil
Tulip kecilku
Tumbuhlah dalam naungan mentari
Kau dan aku tahu
Kau tak akan lama lagi
Tangkaimu akan terlepas sebelum waktunya
Tapi
Tetaplah tumbuh
Bukalah mahkotamu
Tunjukkan pada mereka
Bahwa Kau tidaklah pantas untuk mati
Jika tiba waktunya
Kau akan lihat sendiri
Bahwa takdirmu sudah digariskan
Hidupmu adalah untuk mereka
Tapi
Kau tidaklah sendiri
Ada aku
Dan sejuta teman kita disana
Menunggu kita dengan lukisan wajah terindah
Apakah kamu masih ragu?
Lebih baik kita pergi
Sebelum mereka menghabisi kita berdua
Tumbuhlah dalam naungan mentari
Kau dan aku tahu
Kau tak akan lama lagi
Tangkaimu akan terlepas sebelum waktunya
Tapi
Tetaplah tumbuh
Bukalah mahkotamu
Tunjukkan pada mereka
Bahwa Kau tidaklah pantas untuk mati
Jika tiba waktunya
Kau akan lihat sendiri
Bahwa takdirmu sudah digariskan
Hidupmu adalah untuk mereka
Tapi
Kau tidaklah sendiri
Ada aku
Dan sejuta teman kita disana
Menunggu kita dengan lukisan wajah terindah
Apakah kamu masih ragu?
Lebih baik kita pergi
Sebelum mereka menghabisi kita berdua
Selasa, 08 Februari 2011
seharusnya aku
Menari bagai daun yang ditiup angin
Bernyanyi bagai burung dimusim semi
Tersenyum bagai mentari dipagi hari
Berlari bagai kuda dalam pacuan
Memanjat bagai kera di atas pohon
Berenang bagai ikan di lautan
Bernyanyi bagai burung dimusim semi
Tersenyum bagai mentari dipagi hari
Berlari bagai kuda dalam pacuan
Memanjat bagai kera di atas pohon
Berenang bagai ikan di lautan
DALAM MATA
Dalam mata
Semua dapat berubah
Dalam mata
Semua dapat menjadi kebalikannya
Dalam mata
Semua berawal
Semua dapat berubah
Dalam mata
Semua dapat menjadi kebalikannya
Dalam mata
Semua berawal
Kamis, 20 Januari 2011
pemuda 2011
Bukankah aku pernah terlahir kedunia?
Tapi mengapa aku merasa tak berguna?
Aku bimbang
Diantara pikiranku sendiri
Lidahku menggulung
Karena semua omong kosong yang aku ucapkan
Kini aku buta
Aku tuli
Aku tak tahu dunia
Bagiku dunia itu gelap dan sunyi
Mereka berlari melewatiku
Tapi aku hanya diam
Berdiri ditempat
Akulah pemuda masa kini
Dengan semua ketidak berdayaanku
Aku terseok
Kotor dan hina
Mataku sayu
Karena terlalu lama menatap cahaya semu
Aku berharap pada sesuatu yang tak pasti
Aku yang seperti ini
Takkan mampu menggapai bintang
Jumat, 03 Desember 2010
Langganan:
Postingan (Atom)