beranda

Minggu, 24 Juli 2011

Kembali untuk Pulang

Sesaat,untuk menepi.
Sementara, rasakan sedikit luka
Angin timur, bawakan derita
Sampaikanlah, pada senyuman
Mengerti
Kehidupan
Sore itu adalah sore yang sama seperti sore-sore pada musim penghujan. Awan gelap memenuhi langit. Tak ada yang berkesan bagiku. Rasanya aku ingin pergi dari tempat ini. Tapi ke mana? Hh..sial, untuk apa aku bermimpi pergi dari sini. Aku sudah merasa cukup. Aku sudah puas. Tempat ini telah memberiku kehidupan dan seharusnya aku bersyukur. Tapi inilah aku, manusia biasa yang senang bermimpi. Walaupun banyak orang yang mencibirku. Lupa bahwa merekapun senang melakukannya. Awan gelap masih memenuhi langit, enggan membuka jalan untuk surya. Mendung yang sama dengan hatiku.
Lama aku menunggu. Menunggu datangnya dia. Yang sebenarnya tak akan pernah kembali. Kadang aku berpikir, untuk apa aku menunggunya. Sudah tiga tahun, tapi bagiku dia baru pergi kemarin pagi. Sepanjang perjalananku menuju kota Yogyakarta, aku melihat dirinya diantara hijaunya padi di sawah. Di antara rumah-rumah di sepanjang jalan yang aku lewati. Tapi dia tak pernah melihat ke arahku. Aku tahu dia sudah datang sejak aku memasuki wilayah Jawa bagian tengah, tapi dia tak pernah melihat ke arahku.
Saat aku tiba di penginapan, aku segera membersihkan diriku di kamar mandi kecil yang tersedia di kamar itu. Air di kamar mandi itu terasa hangat-hangat kuku saat menyentuh setiap inci kulitku yang sudah seharian tak disentuh oleh air. Penat masih melekat dan lelah yang teramat sangat memaksaku untuk beristirahat lebih cepat. Jam dua malam aku terbangun dengan sendirinya. Kalut melihat keadaanku yang tak karuan. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Ku coba memejamkan mata. Tapi seperti ada yang menahanku untuk terlelap. Akhirnya aku memaksakan diri bangun dari tempat pembaringan. Tak ada yang terjadi. Tapi tetap saja aku tak bisa terlelap. Entah bagaimana, jam empat pagi aku terbangun dengan posisi terduduk di sebelah ranjang. Kepalaku terasa pening dan tubuhku melemas.
Kemarin sebelum rombongan pergi ke Malioboro, aku seperti melihatnya. Kali ini diantara meja-meja makan yang tersusun rapi di pinggir ruangan. Semerbak wangi tubuhnya memenuhi rongga hidungku. Betapa aku merindukannya. Pembawaanya yang dewasa. Setiap tutur katanya menjadi sangat berarti sekarang. Dia tahu apa yang aku sukai. Dia begitu memahamiku. Walaupun aku sering tak menghiraukan ucapannya. Aku sudah terlalu egois. Dia bahkan tak pernah mendapat sambutan hangat dariku. Hanya karena dia tidak sedarah denganku.
Hari perpulangan adalah hal buruk yang aku tidak sukai kehadirannya. Itu berarti aku harus pergi dari tempat ini dan kembali ke kampung halamanku. Segala hal yang berhubungan dengan kepulanganku sudah aku atur sedemikian rupa agar terkesan bahwa aku sudah siap untuk pergi. Aku sungguh penipu ulung karena aku sudah menipu diriku sendiri. Lambat laun aku akan tersadar bahwa hal itu tak berguna. Perempuan yang duduk bersebelahan denganku begitu tenang menghadapi hari perpulangan itu. Seperti tak pernah merasakan luka.
Luka dan dukaku tetap ada sampai kapan pun. Tapi aku tidak bisa terus meratap, menangisi nasib. Roda kendaraan yang aku tumpangi mulai berputar. Berjalan perlahan menuju kemegahan bangunan kraton Yogya. Hatiku rasanya masih tertinggal di penginapan itu walau ragaku berada di jalan menuju kraton. Pulih itu ternyata lebih sulit.
Kraton Yogya tak membuatku membaik. Suasana kraton yang kental akan tradisi membuatku semakin teringat akan dirinya. Kapan aku bisa melihat senyumnya yang tak pernah aku temukan selama dia ada. Matahari semakin naik, pertanda hari sudah beranjak siang. Waktunya untuk kembali ke kendaraan karena masih jauh perjalanan yang harus aku lewati jika ingin sampai tepat waktu. Aku terdiam sejenak, duduk di tangga kraton yang berwarna kuning kusam bersama teman seperjalananku. Kami tidak berbicara banyak. Diam sudah memberi jawaban bagi kami. Lama akhirnya aku sadar bahwa pembimbingku menunggu di tangga paling bawah. Terpaksa aku turun dari tangga paling atas tempat aku duduk menuju tepat parkir di depan gedung berwarna putih bertuliskan BI dengan huruf B dan I yang saling bertumpukan. Selamat tinggal kraton. Aku tak yakin akan merasakan sensasi ini lagi. Jadi aku biarkan diriku berjalan perlahan, merasakan suasana kraton yang semakin memudar.
Mungkin kalian kesal membaca tulisan tak berarti ini. Tapi cobalah untuk menghargaiku. Karena dia pun selalu menghargai dengan cara unik yang tak satu pun orang dapat menyamainya. Dia memang telah pergi dari dunia ini, tapi dia selalu ada dan mengisi ruang-ruang di dalam hatiku. Dia adalah orang yang sangat berarti bagi ibuku. Dia telah menolong kakekku dari rasa kesepian. Dia adalah nenekku, nenek tiriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar